Uncategorized

Dakwah adalah Cinta

Memang seperti itulah dakwah

Dakwah adalah cinta

Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu
Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu.

Berjalan, duduk, dan tidurmu..

Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah.

Tentang umat yg kau cintai..
Lagi-lagi memang seperti itu.

Dakwah.

Menyedot saripati energimu.
Sampai tulang belulangmu.

Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu.
Tubuh yg luluh lantak diseret-seret.

Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari..
……………………………………….
Dakwah bukannya tidak melelahkan.

Bukannya tidak membosankan.
Dakwah bukannya tidak menyakitkan.

Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak!

Justru kelelahan.
Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya.

Setiap hari.

Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih tragis.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani

Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi, akhirnya menjadi adaptasi.

Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah.
Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman.

Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit.

Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka.

Hingga hasrat untuk mengeluh tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitupun Umar.

Saat Rasulullah wafat, ia histeris.

Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk.

Bukannya tidak cinta pada abu Bakar.

Tapi saking seringnya ditinggalkan, hal itu sudah menjadi kewajaran.

Dan menjadi semacam tonik bagi iman..

Karena itu kamu tahu.

Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore.
Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu.

Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah.
Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar.
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar.
Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, ya Allah, berilah dia petunjuk.

Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak.

Jasadnya dikoyak beban dakwah.

Tapi iman di hatinya memancarkan cinta.

Mengajak kita untuk terus berlari.
Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.

Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

Oleh: Rahmat Abdullah

Standar
Uncategorized

Amal Islami bukan aktivitas sesaat

Dr. Najih Ibrahim.

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan itu hanyalah permainan dan senda gurau; perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yg tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kalian lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab ygg keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yg menipu” (QS Al Hadid : 20)

Amal islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat Anda memiliki waktu luang dan bisa Anda tinggalkan saat sibuk. Tidak, amal islami terlalu agung dan teramat mulia jika diperlakukan seperti itu.

Perkataan intima’ (bergabung) kepada din ini tentu saja jauh lebih serius daripada seperti itu. Islam tidak seperti klub ilmiyah, klub olahraga, atau kepanduan yang cukup dikerjakan saat masih menjadi pelajar atau mahasiswa, lalu bisa ditinggalkan setelah lulus. Atau cukup dikerjakan saat masih bujang dan boleh ditinggalkan setelah menikah. Atau Anda curahkan waktu sebelum Anda mendapat pekerjaan dan setelah mendapatkannya, atau Anda membuka klinik, apotek, biro konsultasi, atau Anda disibukkan dengan pelajaran-pelajaran khusus, maka Anda boleh meninggalkannya atau meremehkannya. Sekali-kali tidak! Amal islami bukanlah seperti itu.

Perkara amal islami dan intima’ kepadanya sama denga perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, seorang muslim hanya boleh melepaskan diri dari amal islami seiring dengan kepergiannya dari kehidupan ini. Bukankah Allah subhana wata’ala telah berfirman:

وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai kematian datang kepadamu!” (QS Al Hijr : 11)

Sampai datang kematian!

AlQuran tidak mengatakan, “Beribadahlah kepad Rabbmu sampai kamu keluar dari Perguruan Tinggi atau saat menjadi pegawai atau sampai kamu menikah atau sampai kamu membuka klinik atau sampai kamu membuka biro konsultasi dan seterusnya.

Para pendahulu kita, assalafushalih memahami benar hakikat yang sederhana namun sangat urgen dalam diinullah ini.

Kita dapati Ammar bin Yasir masih berangkat perang saat usia beliau mencapai 90 tahun. Perang! Bukanlah berdakwah atau mengajar atau beramar ma’ruf nahi munkar. Beliau berangkat perang saat tulang-belulang beliau sudah rapuh, tubuh sudah renta, rambut telah memutih, dan kekuatan sudah jauh berkurang.

Abu Sufyan masih membakar semangat para pasukan untuk berperang saat beliau berumur 70 tahun. Begitu juga Yaman dan Tsabit bin Waqasy; keduanya tetap berangkat ke medan Uhud meskipun telah lanjut usia. Meskipun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menempatkan mereka bersama kaum wanita di bagian belakang pasukan.

Mengapa kita mesti pergi jauh? Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan pertempuran sebanyak 27.[1] Semua peperangan itu dijalani setelah usia beliau lewat 54 tahun. Bahkan perang Tabuk adalah perang yang paling berat bagi kaum muslimin, diikut dan dipimpin langsung oleh beliau saat umur beliau telah mencapai 60 tahun.

Bagaiman dengan keadaan kita hari ini? Kita dapat saksikan banyak sekali ikhwah yang meninggalkan amal islami setelah lulus kuliah, menikah, sibuk dengan perdagangan, tugas, dan sebagainya

Kepada mereka saya katakan, “Sesungguhnya urusan din dan Islam itu bukan urusan main-main.”

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“Kalian menyangka hal itu urusan yang remeh, padahal di sisi Allah hal itu adalah urusan yang agung.” (QS An Nur : 15)

Saya katakan juga, “Mana janji kalian? Janji yang telah kalian ikrarkan di hadapan Allah dan janji di hadapan orang yang banyak dulu?”

وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُولا

“Dan adalah perjanjian dengan Allah itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al Ahzab : 15)

Juga, “Mana sajak pendek yang selama ini kalian perdengarkan?”

Di jalan Allah kami tegak berdiri
Mencitakan panji-panji menjulang tinggi
Bukan untuk golongan tertentu, semua amal kami
Bagi din ini, kami menjadi pejuang sejati
Sampai kemuliaan din ini kembali
Atau mengalir tetes-tetes darah kami.

Sesungguhnya akibat dari penguduran diri adalah keburukan. Apalagi bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya. Bagi orang yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggalam dalam kebatilan. Sesungguhnya membatalkan janji kepada Allah termasuk dosa terbesar di sisi Allah dan di pandangan orang-orang yang beriman”

فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ

“Maka barangsispa melanggar janji, akibatnya akan mengenai dirinya sendiri.” (QS Al Fath : 10)

Siapa saja yang dikuasai oleh nafsu ammarah bissu atau ditipu oleh setan atau mengundurkan diri dari medan amal islami, hendaklah ia merenungkan firman Allah ini :

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagaian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling. Mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS At-Taubah : 75-76)

Setelah itu, hendaklah merenenungkan firman Allah ‘azza wa jalla tentang hukuman yang akan diterima,

فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai waktu mereka menemui Allah karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.” (QS At-Taubah : 77)

Sesungguhnya perkara amal islami adalah perkara yang sangat urgen. Sayang seribu sayang, mereka yang lemah imannya—beberapa di antaranya bergabung saat masih kuliah—beranggapan bahwa amal islami itu tak ubahnya dengan sarikat dagang untuk satu masa tertentu. Begitu masa kuliah selesai, selesai pulalah amal islami; ada juga yang mengira masa amal islami adalah masa terjalinnya persahabatan atau pertemanan saat masih kuliah. Begitu lulus, jalinan pun lepas. Semuanya lepas, tuntas!

Saya menyebut mereka sebagai orang-orang yang lemah iman lantaran penyakit ini umumnya bermula dari lemahnya iman. Sakitnya hati, lemahnya semangat, dan tidak mengakarnya iman, terletak di dalam hati bukan akal. Kerusakan ini seringkali—bahkan selalu—terletak pada hati bukan akal, disebabkan oleh kurangnya iman bukan ilmu, dikarenakan syahwat bukan syubhat; dan buah dari cinta dunia bukan kurang kesadaran. Maka siapa yang ingin menjalani terapi atau berobat, ia mesti memerhatikan hatinya, membersihkannya dari berbagai kotoran, dan mengobati penyakit-penyakitnya itu.

Sayangnya, sedikit sekali dokter yang ada di zaman ini. Tentu saja maksud saya adalah dokter untuk penyakit hati. Jumlah dokter penyakit jasmani banyak sekali. Tetapi, mereka sendiri sedang “sakit parah” juga.

Sungguh, seseorang meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya laksana seseorang yang mendahulukan kelezatan sesaat, kesenangan semusim, dan mencari kegembiraan dengan membayar kesedihan sepanjang masa. Menceburkan diri ke sumur maksiat dan berpaling dari cita-cita mulia kepada keinginan rendah lagi hina. Dia akan berada di bawah kungkungan setan, di lembah kebingungan, dan terbelenggu dalam penjara hawa nafsu.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, keadaan orang-orang seperti mereka jauh lebih buruk daripada orang-orang awam. Kiranya itulah hukuman dari Allah bagi mereka.

Bagi rajawali yang rontok bulunya
Setiap kali ada burung terbang
Dia meratapi semua kegagalannya

Referensi:
Risalah illa kulli man ya’malu lil Islam. Dr Najih Ibrahim. Kepada Aktivis Muslim. Aqwam. Cetakan III, h 77-82
——————
Footnote:
[1] Muhammad bin Ishaq berkata, “Jumlah seluruh perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ada 27.” Lalu beliau menyebutnya satu-persatu. Al-Bidayah wan Nihayah: V/217

Standar
catatan

Syam, Bumi yang diberkahi

Oleh: Syaikh Al-Arifi

Syam adalah bumgembiralah wahai syami yang berbarokah yang diberkahi oleh Allah ta’ala tempat berkumpulnya umat ini seluruhnya yang tidak akan didapati keutamaan itu pada beberapa negeri-negeri lain sebagaimana keutamaan ada pada kota Makkah dan madinah, maka Syam pun demikian. Syam, bumi di mana manusia akan dihimpun di sana pada hari kiamat, Syam, bumi di mana kaum muslimin  akan berperang dalam pertempuran terbesar yang sering disebut pertempuran dahsyat antara kaum muslimin dan musuh-musuhnya. Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda: “pada hari kiamat hari al-Malhamah Al-Kubra, ada sebuah basis milik kaum muslimin disebuah wilayah yang disebut al-Ghuwthah, di dalamnya ada kota yang disebut Damsyiq (Damaskus),  itulah posisi terbaik kaum muslimin saat itu.

Keberuntungan bagi Syam!

Keberuntungan bagi Syam!

Keberuntungan bagi Syam!

Inilah sabda Sayyiduna Rosulullah sallallahu alaihi wasallam. Maka para sahabat pun bertanya, “kenapa?” Rosulullah menjawab, “itu para malaikat Allah yang membentangkan sayap-sayapnya di atas awan Syam.”

Tanya pada Syam hari ini, tentang Khalid bin Kholid, pahlawan yang gagah berani,

tanyakan pada debu-debu Homs, tentang agungnya pribadi Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu.

Tanyakan pada Khalid yang berada di kuburnya, bila beliau melihat apa yang menimpa anak cucunya di sana, Bila beliau melihat apa yang terjadi pada anak-anak perempuan beliau di negerinya.

Bagaimana perasaanmu, wahai Khalid, dan  di Homs, ada kubur Khalid yang kau sentuh itu. Maka goncanglah kubur itu terhadap pengunjung karena marahnya.

Tanyakan pada Syam, tentang Ubadah ibnu Shaamith radhiyallahu anhu. Beliaulah yang telah mengajarkan Al Qur’an pada para sahabat.

Tanyakan pada Syam, tentang sang muadzin berpribadi luhur, yaitu Bilal ibnu Rabbah radhiyallahu anhu.

Tanyakan pada Syam, tentang lebih dari 900 orang sahabat. Mereka (sahabat) yang telah masuk di sana, atau yang pernah tinggal disana, atau yang pernah berperang di negeri itu atau yang telah dimakamkan di sana.

Wahai manusia!!! Saksikanlah!!! Hari ini anak-anak disembelih di Syam!!! Mereka itu anak-anak kita!!! Dan anak-anak perempuan diperkosa!!! Itu terjadi hari ini!!! Mereka anak cucu Khalid!!! Mereka anak cucu Ubadah, wanita keturunan Abu Umamah, mereka wanita keturunan Miqdad, keturunan Mu’adz bin Jabbal. Dan bahwa para pria yang sedang berperang di sana mereka itu anak cucu para pahlawan islam. Angkatlah panji kejayaan  di atas bukitnya!!! Tempuhlah jalan kemuliaan di bawah awan langitnya!!! Inilah negeri Syam!!!

Wahai kaumku,,,wajah sangar muncul, setelah tersingkap dari tabirnya!!! Demi Allah, Aku melihat sendiri bahwa singa-singa  telah menata barisan di Damaskus dan gerbangnya. Wahai kaum muslimin…demi Allah, kita telah saksikan pada hari ini. Bahkan apa yang saksikan sejak 3 tahun ini atas kebrutalan rezim Suriah sungguh demi Allah, tak kuasa lisan menceritakannya. Tak tahan mata ini menyaksikannya. Seorang gadis remaja dilempar di tengah jalan ditelanjangi pakaiannya padahal ia dikenal sebagai muslimah yang sopan dan berhijab. 100 makhluk jahat menganiaya dan memperkosanya sedang orang-orang hanya bisa bersembunyi di balik tembok. Ketika salah seorang pria berusaha menolong malah ditembaki hendak dibunuh. Hingga pria itu pun terbunuh. Mereka menghujaninya dengan tembakan. Ditempat yang lain pria dipaksa berkata  “laa ilaaha illa basyar” tapi ia menolak aqidahnya menolak, harga dirinya menolak, keimanannya menolak, nuraninya menolak, tauhidnya menolak. Mereka tetap menyiksanya, lalu mereka gali lubang dan menguburnya hidup-hidup, hingga tanah mencapai jenggotnya, mereka tetap memaksa katakan: laa ilaaha illaa basyar”. Tapi dia tetap menyeru: “Laa Ilaaha Illallaah” . karena dia paham siapakah Sang Raja. Siapakah Yang Maha Raja!!! Allah!!!

Siapakah Yang Maha Menolong!! “Allah” .

Siapakah Yang Maha Kuasa!!! “Allah”. Siapakah Yang Maha Kuat!!! “Allah”.

Siapakah Yang Maha Perkasa!! Allah” .

Siapakah Yang Maha Membalas Kejahatan!!! “Allah”.

Siapakah Yang Berkuasa atas segalanya! “Allah”.

Siapakah Yang akan menolong saudara kita!! “Allah” .

Siapa Yang Maha Memiliki Selain Allah Jalla wa’alaa . Laa Ilaha Illallaah. Berbuat apa saja yang Dia kehendaki dan menghukum apa saja yang Dia inginkan. Laa ilaha illallaah. Engkaulah Yang Maha Merubah sesuai Keinginan-Mu.

Mereka masih saja menyembelih dan menyembelih. Dan tidaklah mereka beritakan tentang Baniyas, pada pengkhianat dan lainnya, kecuali mereka memberitakan apa yang benar-benar mereka alami kejadiannya. Saat itu anak-anak dikumpulkan, lalu disembelih dengan belati-belati dan orang yang di sekelilingnya telah disembelih diantara korban berumur 2 hingga 3 tahun dengan sayatan pisau. Apa yang sudah kita lakukan? Wanita-wanita diperkosa di hadapan anak-anaknya. Para pria disembelih, dipotong-potong di depan anak-anak dan istrinya. Demi Allah, inilah yang menimpa kalian. Ungkapan apalagi yang bisa gambarkan pemandangan ini. Kalian punya hak untuk marah ketika mendengar ini semuanya!!!

marahlah !!! marahlah!!! Marahlah!!! Sungguh Allah tidak mencipta suatu kaum untuk menjadi hina.

Marahlah!!! Sungguh bumi ini akan tunduk kepada orang-orang yang sedang marah.

Marahlah!!! sungguh jika hari ini saja kau tunduk, kau akan terus tunduk selama ribuan tahun.

Marahlah!!! Allah tidak ridho akan sikap menghinakan diri pada umat, padahal Rabb manusia lebih baik dari seluruh alam.

Marahlah!!! Jika dirimu yang ditemukan anak-anakmu di antara serpihan puing-puing bangunan dan kau dapati ibumu tertimpa reruntuhan dari berbagai arah dan kau saksikan saudarimu pertahankan kehormatannya dari orang-orang jahat.

Marahlah!!! Bila matamu gemetaran melihat para pemudi menolak semua kedzaliman orang-orang fasik.

Marahlah!!! Bila dihadapanmu terpajang foto anak-anak Homs yang mati kelaparan.

Marahlah!!! Bumi ini takkan lupa akan ringkikan kudanya meski lewat bertahun-tahun.

Marahlah!!! Jangan hiraukan celoteh kaum banci penggembos jihad. Bumi ini akan bertekuk lutut, tunduk di bawah kaki para Syuhada.

Marahlah!!! Sungguh kemarahan ini akan menghidupkan bumi ini.

Marahlah!!! Jangan hiraukan siapapun yang mencelamu.

Jangan kau sembunyi dari hajat kaum muslimin. Dari kepentingan dan  kebutuhan mereka. atau Allah pasti menolak segala hajatmu. Sungguh pisau belati yang digunakan untuk menyembelih anak-anak Suriah berada dijalan yang digunakan untuk memutus leher anak-anak kita. Jika bukan kita yang menolong mereka, sungguh kaum Shafawiyah itu sedang menonton penyembelihan kita dan penyembelihan anak-anak kita dan pemotongan jasad-jasad kita, mereka lakukan ini sebagai ritual dalam agamanya, yang mengharap pahala darinya. Dihadapan kita ada musuh-musuh jahat yang menyimpan dendam bekerjasama memerangi kita. Saudara kalian minta pertolongan kalian. Masjid-masjid pun menghiba pertolongan….menara masjid yang sebelumnya digunakan hanya untuk mentauhidkan Allah semata, kini terpasang di sana spanduk bertuliskan “yaa Husain” .

siapa yang gembira atas semua ini? Apakah kita akan memilih berdiam diri setelah kejadian ini? Wahai para pemilik harta. Sungguh pembebasan Syam, dan kemerdekaan Syam dari anak cucu keturunan Khalid bin Walid dan Ubadah. Mereka butuh pertolongan kalian, mereka berperang  mewakili jihad kalian.

Aku bersumpah! Demi Allah!!! Andai Shafawiyun hari ini mendapat kemenangan dalam perang Suriah, dan berkuasa atas Syam, langkah selanjutnya adalah negeri-negeri kaum muslimin. Di Mesir kemarin, yang telah berkumpul 100 ulama dan mujahidin. Berkumpul 100 ulama yang mewakili lebih dari 70 jama’ah dan organisasi. Mereka datang dari 50 negara yang hingga kini sedang membahas nasib Suriah. Dan semalam para ulama telah mengeluarkan putusan  dan pengumuman bahwa wajibnya jihad fie Sabilillah!!! Tiada kejayaan bagi umat ini bila tanpa jihad.

Tiada kejayaan kecuali dengan jihad. Demi Allah, kita tak kan mampu mencabut kehinaan ini kecuali dengan jihad. Dan tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad, kecuali pasti akan hina. Lalu kaum kafir dan kehinaan selalu menunggangi tengkuknya.”

Standar
pergerakan, Uncategorized

Pemuda dan Kejayaan

badar

“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu,” demikian Shahabat Abdurrahman bin Auf memulai kisahnya.

Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di medan pertempuran Badar.

“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini (Muadz bin Amr) berbisik kepada saya,” lanjut Abdurrahman bin Auf. “Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?”

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berasal dari Madinah dan belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan itu menarik perhatian Abdurrahman bin Auf. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendengar bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”

Jawaban itu sontak membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu takjub.

Selama ini Muadz tinggal di Madinah, ketika mendengar ada orang yang mencaci maki Rasulullah, ia tinggalkan kotanya. Bara api kemarahan berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membara di dalam jiwanya.

Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan, harga diri dan tempat-tempat suci agamanya.

Ambisi utamanya, tak sekadar membunuh satu orang musyrikin saja, tetapi ia harus membunuh pentolah musyrikin, yaitu Abu Jahal. Kalaupun kemudian ia mendapatkan kesyahidan, itu adalah anugrah dari Allah.

Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing dengannya dalam hal yang sama.

Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”

Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.

Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.

Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.

Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”

Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.

Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”

Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.

Tanyakanlah kepada para dokter atau tim medis yang pernah melakukan operasi pemotongan, betapa sulitnya melakukan hal tersebut! Coba pula tanyakan kepada para pahlawan dan ahli perang yang bergelut di medan pertempuran yang dahsyat, betapa sangat sulitnya hal itu dilakukan!

Wahai generasi muda Islam! Apa sebenarnya yang kita bahas sekarang? Apakah kita berbicara mengenai tingkatan kepahlawanan dalam perang yang ideal? Ataukah gambaran keberanian yang sangat fantastis? Ataukah seni keahlian perang yang paling indah? Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah ketajaman daya pikir dan insting? Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat yang ikhlas, dan keinginan yang kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan yang paling penting kita bicarakan adalah tentang taufik (pertolongan) Allah ‘azza wa jalla kepada para mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa jalla berfirman :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut : 69)

Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.

Ia benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati sanubarinya terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam kesumatnya demi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!

Hal itu sangat mustahil! Tentunya taruhannya harus ditebus dengan darah. Sebab, pohon kejayaan dan kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain dengan darah-darah para Mujahidin dan Syuhada.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”

Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!

Namun di atas semua itu, berputus asakah ia? Menyesalkah ia? Apakah ia merasa bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah? Apakah ia berharap, seandainya ia tidak ikut dalam medan perang serta hidup dengan selamat dan damai di Madinah, sehingga dirinya terhindar dari luka penderitaan, dan cacat?

Wahai generasi muda Islam! Semua itu sedikit pun tak pernah terbesit dalam benaknya. Justru yang menjadi ambisinya pada saat-saat seperti ini adalah ia harus meneruskan perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala. Sebab, masih banyak musuh yang memerangi umat islam dan orang-oarng ikhlas harus segera membela dan berjuang meskipun hanya dengan satu tangan.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,

“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”

Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?

Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.

Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :

“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”

Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.

Demikianlah keadaaannya. Kedua pahlawan cilik ini berlomba-lomba dan bersaing untuk menghabisi si durjana, yang pada akhirnya mereka mendapat nilai seri!

Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?

Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama dan seri.

Subhanallah! Apakah sampai di sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda belia ini? Belum, wahai generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih terus berlanjut pada babak berikutnya.

Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu harus rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan, kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? Muawwidz Radhiyallahu ‘anhu telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati syahid di jalan Allah!

Pahlawan tangguh yang masih muda belia ini – usianya baru tiga belas tahun – terus melanjutkan petualangan jihad dan perjuangannya setelah ia mempersembahkan perjuangan yang sangat berharga hingga terbunuhnya Abu Jahal. Akan tetapi, ia tidak merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas itu. Meskipun hasilnya bisa dibanggakan, namun ia terus berjuang dan maju menerjang musuh hingga memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang padahal usianya masih sangat muda belia.

Wahai generasi muda, biginilah simbol kejayaan dan kemuliaan! Dan beginilah persaingan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin : 26).

Standar
Uncategorized

Teknik Menulis Feature ala Majalah Tempo (Bagian terakhir)

TRANSISI

Anda sedang menulis feature dengan catatan panjang yang mencakup macam-macam fakta tentang pokok persoalan yang akan Anda tulis. Setiap potong informasi sama halnya dengan sebuah batu bata yang harus digabung dengan batu bata lain agar terbentuk bangunan cerita. Di antara sejumlah “batu bata” ada transisi — “adukan semen” yang merekatkan batu bata-batu bata itu menjadi keseluruhan cerita.

Transisi bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat, atau mungkin paragrap. Ia punya dua tugas.
1. Ia memberi tahu pembaca bahwa Anda pindah ke materi yang lain.
2. Ia meletakkan materi yang lain itu pada perspektif yang selayaknya.

Dalam penulisan berita, transisi mudah dilihat. Penulis memadu fakta-fakta menjadi pemaparan pendek-pendek yang satu sama lain direkatkan menjadi satu cerita.

Contohnya:
Para penjahat bertopeng yang mengacungkan senjata merampok bank 400 ribu dolar pagi ini.
Para bandit masuk pintu depan jam 09.15, memerintahkan langganan dan pegawai bank tengkurap di lantai, kemudian menguras laci-laci uang tunai dan kotak uang.
Selama perampokan itu, terdengar sekali tembakan, tapi tak ada yang luka.
Kemudian, sersan polisi William Bowling menemukan mobil kosong dua kilometer dari bank. Ia tidak menemukan uang.
Dekat mobil itu, polisi menemukan kantong-kantong uang kosong yang bercap
bank tersebut.
Sebelum perampokan itu, polisi sudah diberi tahu agen-agen FBI bahwa ada tiga perampok bank dari luar kota yang diperkirakan beroperasi di kota itu.
Tapi, kata seorang juru bicara FBI, ketiga perampok yang berumur 20 tahunan itu tidak cocok identitasnya dengan perampok yang dilaporkan itu.

Transisi harus sedemikian rupa, hingga pembaca tidak boleh merasa terganggu olehnya.

TEKNIK PENULISAN

Sampai di sini, Anda sudah mempunyai unsur-unsur lengkap untuk menulis feature. Lead adalah kepala, struktur adalah kerangkanya, ending berarti ekornya, dan transisi adalah tali sendi yang mengikat unsur-unsur menjadi satu.
Penulis harus memakai teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak teknik untuk itu, ada tiga yang pokok.

1. Spiral. Setiap alinea (paragraf) menguraikan lebih terinci persoalan yang disebut alinea (paragraf) sebelumnya.
2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan: bila paragraf terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian lebih kecil.
3. Mengikuti Tema. Setiap alinea (paragraf) menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.

Kebanyakan penulis profesional memilih beberapa teknik, tergantung panjang dan jalannya cerita. Ini dilakukan supaya orang tidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu juga.
Dalam menulis, beberapa petunjuk dasar dipergunakan untuk menyajikan tulisan dengan cara yang paling menarik supaya menawan pembaca.

Alinea pendek. Paragraf atau alinea yang panjang hanya membuat pembaca segan membaca karena mengira tulisan itu susah dibaca. Potonglah paragraf yang kelihatan terlalu panjang.
Ingat bahwa Anda menulis dengan gaya pers, bukan bahasa formal. Guru-guru bahasa memang menekankan perlunya pengelompokan materi yang berkaitan dalam satu paragraf. Tapi wartawan yang praktis dengan segera mengorbankan bentuk itu supaya mudah berkomunikasi.

Tulislah singkat dan sederhana. Kalimat majemuk yang panjang kadang kala memang benar menurut tata bahasa. Tapi bila ternyata pembaca tersesat dan bingung, penulis itu gagal berkomunikasi. Tapi jangan lantas menjadi fanatik pada kalimat pendek. Kalau kalimat Anda hanya terdiri atas pokok kalimat, kata kerja, dan obyek terus-terusan, pembaca akan mengantuk setelah membaca dua paragraf.

Menyusun feature yang membuat pembaca tidak mengantuk, gampang saja. Setiap kalimat harus gampang diikuti dan mudah dipahami. Kadang-kadang kalimat sederhana bisa melakukan fungsi ini. Tapi kalau itu-itu saja yang dipakai, orang akan jemu.
Penggunaan kalimat sederhana memperkecil risiko salah menggunakan kata sambung. Sebab, dalam pers, walaupun beberapa aturan tata bahasa sering di-“abaikan”, kalimat harus logis dan benar tata bahasanya.

KISAH NYONYA SULAIMAN

Setelah Anda memiliki alat-alat dasar untuk membuat feature, mari kita susun sebuah feature dari kejadian ini:

Dalam tugas sebagai seorang reporter kepolisian Anda mendengar dua polisi bercerita tentang seorang wanita tua yang menyapu halaman di depan rumahnya pada pukul 2.00 pagi setiap hari. Polisi mengatakan kepada Anda bahwa wanita itu tidak hanya menyapu persis di depan rumahnya, tapi juga sepanjang gang. Karena ingin tahu, Anda ikut mobil patroli polisi dengan harapan bisa bertemu dengan wanita itu.

Tepat pukul 2 malam polisi sampai di Jalan Kurcaci, dan benar, Anda melihat wanita itu sedang menyapu. Polisi menghentikan mobilnya dan menyalami wanita itu yang kemudian membalas senyum. Anda mendekati wanita itu, kemudian memperkenalkan diri sebagai wartawan. Salam basa-basi telah Anda lakukan dan seterusnya.
“Mengapa Ibu menyapu setiap jam 2 malam?”
“Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada orang yang membersihkannya,” jawabnya.
Nah, Anda telah menemukan calon cerita feature, maka Anda pun meneruskan.

“Maaf, Ibu namanya siapa dan tinggal di mana? Saya ingin membuat cerita tentang Ibu,” kata Anda.
“Cerita? Saya tidak ingin dimuat di koran. Saya tak mau tetangga tahu.”
“Saya maklum,” kata Anda. “Tapi saya harap Ibu berpikir kembali karena masyarakat ini perlu mengembangkan semangat itu, dan Ibu menjadi teladan. Mungkin banyak orang nanti akan mulai bangga pada lingkungan mereka dan mulai melakukan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat. Juga, bila bapak-bapak membaca tulisan ini, mereka akan mulai membersihkan gang ini.”
Wanita itu mempertimbangkan alasan Anda, bimbang sebentar, kemudian setuju.
“Kalau engkau pikir ada manfaatnnya, baiklah ….”
“Tentu,” Anda jawab.
“Nama saya Selasih Sulaiman, dan saya tinggal di sana, Jalan Kurcaci nomor 16,” katanya.
“Berapa umur Ibu? Sudah berapa lama Ibu melakukan hal ini?”
“Umur saya 69 tahun — dan saya sudah melakukan hal ini sejak suami saya meninggal tahun yang lalu. Saya tidak punya pekerjaan, tetangga saya semuanya sibuk, selalu bekerja, maka yang kecil inilah bagian saya.”
“Selain bapak polisi ini, apa ada orang lain yang berhenti dan menyapa Ibu?”
“Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar,” katanya sambil tertawa kecil. “Kadang-kadang anak-anak muda lewat di sini kalau Minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak mengganggu saya. Mereka selalu melambaikan tangan.
“Suatu saat ada pencuri. Polisi ini mengetahuinya. Waktu itu saya akan keluar menyapu dan melihat orang yang sedang bersembunyi di balik semak. Maka, saya masuk lagi dan menelepon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang dua menit kemudian dan menangkap orang itu yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah.”
Polisi itu mengangguk dan tertawa kecil.
“Apakah gang ini selalu kotor?”
“Tidak,” wanita itu mengakui. “Tidak selalu kotor, tapi wanita tua seperti saya ini perlu beramal. Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa saya harus melakukan sesuatu.”
“Apakah Ibu khawatir akan keselamatan Ibu?”
“Tidak, tidak, bila ada kawan-kawan polisi di dekat saya. Dua pemuda ini selalu mengontrol setiap malam untuk melihat apakah wanita tua yang gila ini aman. Saya menyapu setengah jam dan mereka selalu datang pukul 2.10 kemudian pergi jam 2.20, seperti arloji saja.”
“Apakah Ibu senang dengan tetangga?”
“Ya, mereka baik-baik,” katanya. “Anak-anak memanggil saya Nenek dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk mereka asal ibu mereka tidak melarang. Para pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis. Dan wanitanya, ketika saya agak sakit bulan Januari yang lalu, mereka merawat saya. Tidak banyak wanita tua beruntung seperti saya ini.”
Dengan tertawa gembira, ia menambahkan, “Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda. Itulah kunci hidup supaya menyenangkan, berpikir muda.”

Anda mengucapkan terima kasih kepadanya dan naik lagi ke mobil polisi. Anda duduk dan memperhatikan dia sebentar. Ia membungkuk di atas sapunya, bernyanyi kecil, sebuah lagu Sunda. Jalannya terhuyung-huyung, langkahnya hati-hati. Rambutnya yang memutih diatur rapi. Anda mengingat matanya yang jernih, dan mukanya sudah berkerut karena usianya. Kerutan wajahnya mencerminkan kegembiraan karena mereka membentuk pola sekitar mata dan mulutnya yang selalu dihiasi senyum selama 69 tahun.

Anda memiliki feature nomor wahid! Sebagai seorang reporter yang baik, Anda memanfaatkan kepribadian dan sopan santun Anda untuk membujuk wanita tua itu agar berbicara. Anda memancing semangat pengabdian kemasyarakatan wanita itu untuk memberi alasan kepadanya supaya bicara. Beberapa pertanyaan lain bisa dicari jawabannya untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik, tapi sementara itu Anda tahu bahwa Anda telah mempunyai segala unsur yang diperlukan. Langkah berikutnya adalah menulis cerita itu.

Memilih lead: Melihat materi yang ada, Anda tahu bahwa cerita itu akan berjalan dengan sendirinya untuk lead deskriptif, ringkasan, kutipan atau lead yang bercerita. Lead lain mungkin juga, tapi Anda pastikan bahwa materi itu lebih baik dengan lead yang sudah disebut tadi. Karena menyangkut orang, Anda menentukan lead deskriptif kegemaran Anda – atau lead yang bercerita.

Anda coba lead deskriptif dulu:
Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat wanita tua itu menjalankan tugasnya membersihkan gang pada pukul dua malam.

Lead deskriptif ini memusatkan perhatian pada keadaan yang istimewa (jam dua malam orang menyapu jalanan). Setelah itu penulis merangsang minat pembaca dengan menyorot wanita tua dan sapunya:

Nyonya Selasih Sulaiman, 69 tahun, sudah sekitar setahun menyapu gang di Jalan Kurcaci, setiap jam dua malam, hampir setiap hari.

Lead ringkasan lebih sederhana. Dengan bahan feature yang kuat, lead ini bisa efektif:
Pukul dua pagi setiap hari, Nyonya Selasih Sulaiman menyapu gang depan rumahnya.

Pemakaian unsur waktu (pukul dua pagi) di situ tidak sekadar kata-kata percuma, karena unsur waktu itu sangat unik dan menarik perhatian.

Lead yang bercerita agak efektif juga, tapi mengurangi unsur kuat action-nya:
Menyusuri sepanjang gang pada pukul dua malam, wanita tua itu sibuk menyapu sambil menembangkan nyanyian Sunda yang gembira.

Misalkan Anda pilih lead yang deskriptif. Setelah alinea atau bagian berikutnya yang disebut “perangkai,” Anda teruskan:

“Saya sudah melakukan hal ini sejak suami saya meninggal tahun lalu,” Nyonya Sulaiman menjelaskan dengan senyum ramahnya. “Saya tidak punya pekerjaan lain. Semua tetangga saya sibuk, selalu bekerja, maka yang kecil inilah bagian saya.”
Keheningan tugas malam ini hanya terganggu oleh patroli rutin mobil polisi. Petugas patroli Aritonang dan Sujiwo mendatangi gang itu pada saat Nyonya Sulaiman ada di luar.
“Ia wanita yang baik. Bila tidak ada tugas lain, kami senang mendatangi daerah ini,” kata Aritonang.
“Kedua anak ini berpatroli setiap malam untuk melihat apakah wanita tua gila ini aman,” kata Nyonya Sulaiman gembira. Meskipun ia menyebut dirinya “wanita tua gila,” Nyonya Sulaiman menunjukkan pandangan hidup seorang realis.
Mengakui bahwa gang itu tidak selalu kotor, ia menjelaskan, “wanita tua seperti saya ini perlu beramal. Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa, saya harus melakukan sesuatu.”
Mula-mula, ia enggan berbicara tentang tugas malamnya membersihkan sampah di gang. Tetangganya tidak tahu pekerjaan itu.
“Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada yang membersihkannya,” katanya. “Saya tidak ingin ini dimuat di koran. Saya tidak mau tetangga tahu. Mengapa engkau risaukan saya keluar jam 2 malam?”
Hanya dengan imbauan bahwa ada kebanggaan masyarakat, ia mau bercerita dan berharap bahwa warga kota lainnya akan mengikuti jejaknya, tapi pada siang hari.
“Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar,” katanya. “Kadang-kadang anak-anak lewat di sini kalau Minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak menggangu saya. Mereka selalu melambaikan tangan.”
Pekerja malam hari itu pernah satu kali menjadi penjaga tetangga yang sedang tidur dari kejahatan.
Suatu hari ketika ia sedang menyapu, Nyonya Sulaiman melihat seorang pria “bersembunyi di balik semak. Maka, saya masuk lagi dan menelepon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang 2 menit kemudian dan menangkap orang itu yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah.”
Pada siang hari, tetangga di kiri kanan rumahnya dan sepanjang gang memanggil Nyonya Sulaiman “Nenek”. Matanya yang sayu penuh perasaan bila bercerita tentang tetangganya. “Mereka baik-baik,” katanya. Anak-anak memanggil saya ‘Nenek’ dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk mereka asal ibu mereka tidak melarang. Para pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis.”
Tetangganya, para wanita, merawat Nyonya Sulaiman ketika ia agak sakit bulan Januari yang lalu, katanya.
“Tidak banyak wanita tua yang beruntung seperti saya ini.”
“Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda, Itulah kunci hidup supaya menyenangkan, berpikir muda.”

Setelah wawancara itu, Anda menghubungi beberapa tetangga untuk memperoleh materi yang baik untuk penutup yang wajar dan efektif.

Tetangga sepanjang gang memberi tangan hangat.
“Nenek itu adalah yang paling aneh yang dimiliki lingkungan di sini,” kata Ny. Tanzil Setiawan, tetangga sebelahnya. Dan diteruskannya, “Kami mencintainya benar-benar.”
Meskipun Nyonya Sulaiman berusaha menyembunyikan pekerjaannya pada jam dua malam, semua tetangga mengetahui hal itu.

Standar
Uncategorized

Teknik Menulis Feature ala Majalah Tempo (Bagian 4)

MENULIS LEAD

Sekali reporter memilih lead dan memilih pendekatan dasarnya, ia menghadapi problem memilih kombinasi kata-kata.
Bagaimanapun imajinatif dan menariknya gagasannya untuk satu lead yang bagus, ia masih bisa tergelincir dalam merenggut perhatian pembaca bila kombinasi kata-katanya payah.

Misalnya:
Setiap pagi, sekitar pukul 07.30, ketika matahari masih bersinar merah di Percut, sebuah kota pantai 22 kilometer dari Medan, Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai penyadap tuak. Ia kayuh sepedanya menuju kebun kelapa….(TEMPO, 11 Juni 1994, “Ketika Minuman Keras Melekat Bersama Tradisi”).

Lead tersebut terlalu panjang, tapi untunglah susunan kata-katanya bagus. Ide yang sama bisa ditulis lebih jelek oleh reporter yang kurang mampu:
Pagi-pagi, lebih kurang pukul 07.30. pagi, ketika matahari terlihat bersinar merah di Percut, yakni sebuah kota pantai yang terletak lebih kurang 22 kilometer dari Medan, seorang penyadap tuak bernama Hotman Sinaga, 32 tahun, mulai bekerja sebagai penyadap tuak….

Bandingkanlah kedua lead itu. Idenya sama. Hal yang dibicarakan juga sama. Tapi yang pertama lebih efektif dan ringkas, sedangkan yang kedua banyak kata bisa dihilangkan tanpa mengubah gambaran yang ingin disampaikan.
Bila Anda menganalisa lead-lead itu, pedoman berikut untuk penulisan lead akan menjadi jelas.

Tulislah ringkas.

Jangan obral kata-kata. Lead kedua dalam contoh cerita inspektur di atas satu setengah kali panjangnya daripada yang pertama. Tapi toh, lead kedua itu tidak memberikan informasi yang lebih banyak, selain disebutnya nama perwira polisi itu.
Mengobral kata yang tidak perlu mengurangi keefektifan lead. Ibaratnya: kaldu yang kental bisa menjadi sup yang hambar bila terlalu banyak air.

Tulislah alinea secara ringkas.
Kebanyakan penulis profesional berpedoman begini: Jangan lebih dari 4 baris (bukan kalimat) untuk sebuah lead. Alinea yang ringkas akan dengan sendirinya lebih mudah mengundang. Bila ditambah pemilihan kata dengan baik, akan lebih mudah dibaca.

Gunakan kata-kata aktif.
Lead harus punya nyawa dan tenaga. Pembaca harus merasakan suatu gerakan ketika ia membaca.
Penulis feature menaruh perhatian istimewa kepada kata-kata kerja, terutama yang ringkas dan hidup. Kata kerja adalah busi. Ia memberikan kekuatan sehingga lead Anda “bergerak”.
Kata-kata sifat bisa memberikan saham untuk mempercantik. Mempertegas kata sifat (misalnya “ramping”, “ringsek”, “montok”, “mengkilat”) menambah vitalitas suatu kalimat.

Gaetlah pembaca pada beberapa kata pertama.
Dalam contoh sebelumnya, reporter membuka ceritanya dengan lead yang fokusnya menajam: “Mata yang dingin….”
Perhatian pembaca segera ditarik. Ia mungkin akan membaca terus … terus, sampai ia masuk jauh ke dalam cerita itu.
Banyak ahli komunikasi yang mengatakan bahwa bila Anda gagal menggaet pembaca pada kata-kata pertama, Anda akan kehilangan pembaca itu.
Ada beberapa contoh umum bagaimana kata-kata pertama gagal menggaet pembaca. Misalnya ini:
“Beberapa minggu yang lalu …..”
“Dalam rangka …..”

Kata-kata itu memaksa pembaca untuk bersusah-payah sebelum mengetahui apa yang akan dikemukakan penulis. Bila saja topiknya tidak begitu mengundang keingintahuan pembaca, ia dengan sendirinya akan pindah ke cerita lain.
Reporter harus bisa menarik pembaca dengan modal lead-nya. Sebab, walaupun ceritanya sendiri hebat, hanya sedikit pembaca yang mau mengarungi lead yang tidak menarik, yang membosankan, untuk masuk ke dalam cerita hasil kerja keras Anda.

TUBUH DAN EKOR

MISALKAN Anda sudah punya lead yang hidup dan menarik. Problem Anda berikutnya (yang kadang-kadang paling sulit) adalah menyusun materinya sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti dari awal sampai akhir.

Dalam penulisan berita, hal ilu lebih gampang, karena setiap cerita ditulis dalam bentuk yang sama: piramida terbalik. Banyak feature yang menganut bentuk ini. Tapi sebenarnya tidak ada patokan bentuk feature yang tegas. Ini membuat penulisan feature lebih sulit dalam beberapa hal. Tapi juga memungkinkan kreativitas dan kecakapan.
Apakah “piramida terbalik” itu dan apa manfaat praktisnya?

Dalam “piramida terbalik”, bahan tulisan (informasi) disusun sedemikian rupa sehingga pembaca memperoleh bagian terpentingnya segera pada awal tulisan. Materi disusun sesuai dengan urutan pentingnya: informasi makin ke bawah makin kurang penting, lebih banyak detail, sementara pokoknya sudah dimuat di atas.
Dalam dunia pers yang terburu-buru, piramida terbalik mempunyai dua fungsi.

Pertama, bentuk piramida terbalik itu memungkinkan editor memotong naskah dari bawah. Karena berita disusun sesuai dengan nilai pentingnya maka editor bisa dengan cepat memotong dari belakang sesuai dengan halaman yang tersedia. Ini sangat menolong, terutama bila naskah diserahkan menjelang dealline. Editor tidak perlu membaca terlalu teliti
Kedua, bentuk penulisan tersebut memungkinkan diketahui dengan cepat apakah berita itu layak dimuat atau tidak: editor cukup membaca leadnya saja. Editor tahu bahwa unsur terpenting cerita itu mesti ada pada lead.

Apa hubungan hal ini dengan feature? Bentuk paling umum suatu feature juga piramida terbalik, tapi ada satu tambahan: ending, atau penutup tulisan.
Suatu feature memerlukan — bahkan mungkin harus — ending karena dua sebab:

1. Menghadapi feature hampir tak ada alasan untuk terburu-buru dari segi proses redaksionalnya. Editor tidak lagi harus asal memotong dari bawah. Ia punya waktu cukup untuk membaca naskah secara cermat dan meringkasnya sesuai dengan ruangan yang tersedia.
Bahkan feature yang dibatasi deadline diperbaiki dengan sangat hati-hati oleh editor, karena ia sadar bahwa kebanyakan feature tak bisa asal dipotong dari bawah. Feature mempunyai penutup (ending) yang ikut menjadikan tulisan itu menarik.

2. Ending bukan muncul tiba-tiba, tapi lazimnya merupakan hasil proses penuturan di atasnya yang mengalir. Ingat bahwa seorang penulis feature pada prinsipnya adalah tukang cerita. Ia dengan hati-hati mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengkomunikasikan ceritanya. Umumnya, sebuah cerita mendorong untuk terciptanya suatu “penyelesaian” atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan tersebut terasa belum selesai.

Beberapa jenis penutup:

Penutup ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepas-lepas dan menunjuk kembali ke lead.
Penyengat. Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga. Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan orang “yang baik-baik” oleh “orang jahat”.
Klimaks. Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti sastra tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.

Tak ada penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas apakah tokoh cerita menang atau kalah. Ia menyelesaikan cerita sebelum tercapai klimaks, karena penyelesaiannya memang belum diketahui, atau karena penulisnya sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung.

Seorang penulis harus dengan hati-hati dalam menilai ending-nya, menimbang~nimbangnya apakah penutup itu merupakan akhir yang logis bagi cerita itu. Bila merasakan bahwa ending-nya lemah atau tidak wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat penutup yang sempurna dan masuk akal.

Menulis penutup feature sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peranan “tukang cerita” dan biarkanlah cerita Anda mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar.
Seorang wartawan profesional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikin-bikin.

bersambung…

Standar
Uncategorized

Teknik Menulis Feature ala Majalah Tempo (Bagian 3)

Lead deskriptif.

Lead deskriptif bisa menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat kejadian. Lead ini cocok untuk berbagai feature dan digemari reporter yang menulis profil pribadi.
Lead yang bercerita meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan lead deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya.

Pemakaian ajektif (kata sifat) yang tepat adalah kunci untuk lead deskriptif. Seorang reporter yang baik bisa membuat tokohnya “hidup”, seolah-olah muncul di tengah-tengah barang cetakan yang dipegang pembaca.
Reporter sering mencoba memusatkan perhatiannya pada satu unsur yang paling mencolok dari sosok dan penampilan tokohnya untuk diilustrasikan.

Wajah Syaiful Rozi bin Kahar samasekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, “Perompak yang Halus dan Ramah”).
Untuk kebanyakan pembaca, lead itu mendebarkan. Pembaca seolah-olah terpaksa menerima kehadiran seseorang yang berperangai halus, padahal ia bajak laut yang ganas.

Tokoh untuk lead ini tidak harus manusia. Objek tidak berjiwa pun bisa mempunyai “personalitas” yang bisa ditangkap secara efektif oleh pembaca dari sebuah lead deskriptif yang baik.
Laksana tarian peri langit, asap membubung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang api (TEMPO, 30 Januari 1993, “Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali”). 

Lead deskriptif bisa menjadi karikatur yang efektif, seperti sketsa seorang pelukis, yang menekankan pada ciri pokok dan mengabaikan perincian yang tidak menarik.
Atau sebuah lead deskriptif bisa menampilkan tokohnya dalam perwatakan yang menarik, dengan cara menggambarkan sebuah latar (dekor) yang tepat.

Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (TEMPO, 2 Januari 1993, “Kasmaran Maut di Sarang Elang”).
Menyadari bahwa selalu ada kemungkinan untuk membuat lead deskriptif, maka tidak mengherankan bila banyak reporter yang terpikat oleh lead jenis ini.

Lead kutipan.

Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang dikutip orang yang terkenal. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke dalam watak si pembicara.
Ingat, lead harus menyiapkan pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga kutipannya pun harus memusatkan diri pada sifat cerita itu.

Sebuah contoh lead kutipan begini:
“Tangkap hidup atau mati.” (TEMPO, 29 Januari 1994, “Hidup atau Mati: Gendut Dicari”).
Kutipan keras itu diucapkan Kapolri Letnan Jenderal Banurusman. Umumnya pembaca akan langsung tergaet, ingin tahu bagaimana nasib orang yang sudah dipastikan harus ditangkap hidup atau mati itu.

Kerugian lead semacam ini adalah bahwa kutipan yang dipilih bisa keluar dari isi cerita, bila tekanan pokok diletakkan kepada kutipan itu saja.
Misalnya Anda mewawancarai seorang tukang ojek tentang rencana pembangunan kawasan Kota, Jakarta Pusat. Mungkin ia mengeluh, tentang rencana yang bakal menutup rezekinya itu dan berkata, “Kawasan Kota mau ditutup sampai Pelabuhan Sunda Kelapa? Wuih…” (TEMPO, 26 Juni 1994, “Menyulap Kawasan Kota”).

Kutipan itu bisa menarik perhatian, sehingga seorang reporter mungkin memakainya sebagai lead. Tapi kutipan itu tidak secara tepat menggambarkan perasaan si tukang ojek itu secara keseluruhan. Bila wartawan tidak bisa memberikan penjelasan pada pembaca kapan kutipan itu keluar dan dalam kondisi bagaimana, jangan-jangan kutipan itu memang tak ada kaitannya langsung dengan isi cerita.

Lead pertanyaan.

Lead ini efektif bila berhasil menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca.
Sering, lead ini dipakai oleh wartawan yang tidak berhasil menemukan lead yang imajinatif. Lead ini gampang ditulis, tapi jarang membuahkan hasil terbaik.

Dalam banyak hal, lead ini cuma taktik. Wartawan yang menggunakan lead ini tahu bahwa ada pembaca yang sudah tahu jawabannya, ada yang belum. Yang ingin ditimbulkan oleh lead ini rasa ingin tahu pembaca: yang belum tahu, mestinya terus ingin membacanya; sedangkan yang sudah tahu dibuat ragu-ragu apakah pengetahuannya cocok dengan informasi bung wartawan.

Banyak editor enggan memakai lead ini karena pembaca serinq dibuat kesal oleh jebakannya. Biasanya lead bercerita atau deskriptif lebih disukai.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa lead pertanyaan lebih rendah mutunya daripada yang lain. Kadang-kadang ada cerita yang bisa diberi lead pertanyaan secara wajar.
Seorang wartawan Sekretariat Negara yang menulis feature tentang kenaikan gaji pejabat tinggi bisa menulis begini:
Berapa gaji Presiden Soeharto sekarang? (TEMPO, 23 Januari 1993, Presiden Naik, DPR Naik).
Seperti juga lead-lead yang lain, lead pertanyaan hanya bisa efektif bila materinya memang secara wajar bisa diberi lead pertanyaan.

Contoh lain:
Apa yang membuat sekelompok orang ngotot, menolak pindah, meski gubuk tempat mereka tinggal terus dirayapi oleh air yang menggenang? (TEMPO, 27 April 1991, “Kedungombo”).

Lead menuding langsung.

Bila reporter berkomunikasi langsung dengan pembaca, ini disebut lead menunjuk langsung. Ciri-ciri lead ini adalah ditemukannya kata “Anda” yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain.

Keuntungannya jelas. Pembaca — kadang-kadang tidak secara sukarela — menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda secara pribadi dalam cerita itu.
Misalnya seorang reporter yang mangkal di kantor imigrasi dan menemukan adanya kesalahan cekal terhadap seseorang yang tidak bersalah, mungkin membuat lead demikian.
Bila Anda punya nama “kodian”, harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, “Gara-gara Nama Sama”.)

Lead seperti itu langsung melibatkan pembaca secara pribadi, rasa ingin tahu mereka sebagai manusia disinggung: jangan-jangan namanya atau nama keluarga dekat atau teman dekatnya tergolong nama kodian. Menggunakan lead seperti ini memang terasa sebagai taktik untuk memikat.

Ada contoh lain. Lead ini secara langsung menyeret pembaca ke dalam persoalan dan membawanya untuk membaca tulisan secara keseluruhan.
Bila harus memilih antara diet kolesterol dan penyakit jantung, tentu Anda memilih yang pertama (TEMPO, 5 Februari 1994, “Para Eksekutif, kolesterol dan Jantung”.)

Yang perlu diingat, membuat lead yang menuding langsung seperti contoh tersebut memerlukan imajinasi yang kuat. Sebab, ada bahaya di sini, salah-salah Anda membuat lead yang cenderung kedengaran sok dan amatir. Misal:
Kalau (Anda) mau hidup enak dan terhormat, jadilah eksekutif di perusahaan konglomerat (TEMPO, 6 Februari 1993, “Eksekutif Jutaan Rupiah”.)

Berbeda dengan yang sebelumnya, meski tetap punya daya tarik (hidup enak dan terhormat tentunya diminati umumnya orang), yang ini terasa kurang memikat. Soalnya, tak semua orang punya kesempatan menjadi eksekutif, apalagi di perusahaan konglomerat. Dengan kata lain, lead ini kurang melibatkan banyak pembaca secara pribadi. 

Lead penggoda.

Lead penggoda ini adalah cara untuk “mengelabui” pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita.
Lead jenis ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya dipakai teka-teki, dan biasanya hanya memberikan sedikit, atau sama sekali tidak, tanda-tanda bagaimana cerita selanjutnya.
Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50. (TEMPO, 4 Januari 1992, “Angka Misterius Santa Cruz”.)

Dari kalimat itu pembaca belum tahu pasti kunci cerita tentang angka 50 itu. Justru karena itu keingintahuannya dibangkitkan, dan untuk memenuhi keingintahuannya itu, mau tak mau, ia akan membaca kelanjutan kalimat tersebut, sampai tahu apa yang dimaksudkan dengan “angka 50” itu. Setelah pembaca tahu teka-teki angka 50 itu (dalam hal ini adalah tentang jumlah korban kekerasan militer di kuburan Santa Cruz, Dili, pada tahun 1991), tergantung cerita itu sendiri apakah cukup menawarkan daya tarik untuk diikuti terus, atau tidak.
Cara lain menampilkan lead jenis ini, mengiming-imingkan (memamerkan) potongan fakta di depan hidung pembaca supaya terpancing untuk terus membaca:

Pendatang baru itu tampak misterius dan agak menakutkan. Namanya memang bagus, Chlamydia pneumoniae, tapi wataknya merepotkan para peneliti (TEMPO, 19 Februari 1994, “Chlamydia yang Mempersulit Diagnosa”).

Pembaca yang tak tahu apa atau siapa nama itu, tentunya bisa punya asosiasi macam-macam membaca lead itu: apakah itu seseorang, atau benda, atau apa. Barulah di kalimat-kalimat berikutnya diceritakan yang sebenarnya:“Itulah kuman penyebab penyakit radang paru-paru, yang tidak tergolong jenis bakteri, tapi juga bukan virus. Para ahli mengatakan, kuman itu membawa sebagian sifat bakteri, sebagian lagi sifat virus.”

Pembaca yang sudah tahu tentang kuman itu pun diharapkan tetap ingin membaca artikel ini, karena diiming-iming dengan kata “misterius” dan “menakutkan”. Benarkah si Chlamydia itu semisterius dan semenakutkan sebagaimana ia ketahui, atau kurang dari itu, atau lebih menakutkan?

Lead nyentrik.

Hijau sayuran
Putihlah susu
Naik harga makanan
Ke langit biru

Reporter yang imajinatif — meskipun tidak puitis — bisa mencoba lead seperti ini pada saat menulis cerita tentang kenaikan harga. Lead ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku.
Lead ini paling ekstrem dalam bertingkah. Tapi kekurangajarannya bisa menggaet pembaca, bila reporter bisa mengikuti langkah pertamanya itu dengan cerita yang lincah dan hidup. Tapi nada lead ini susah dijaga sepanjang keseluruhan cerita.

Beberapa koran enggan memakai lead ini. Memang ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia kata-kata. Lead nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga memualkan. Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu.
Lead nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Misalkan: “Tak dududuktak. Duk.” (TEMPO, 5 Januari 1985, “Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.”)

Lead gabungan.

Di surat kabar sering ditemukan lead yang merupakan gabungan dari dua atau tiga lead, dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing lead.
Lead kutipan sering digabungkan dengan lead deskriptif.
“Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang,” kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei 1994, “Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun”).
Lead penggoda bisa digabung dengan lead kutipan.

bersambung…

Standar
Uncategorized

Teknik Menulis Feature ala Majalah Tempo (Bagian 2)

PENGEJAAN DAN PEMAKAIAN KATA

“Kata-kata adalah alat pokok dalam pekerjaan ini. Bila kau tidak bisa mengeja dengan tepat atau tidak bisa memakai kata-kata dengan efektif dan akurat, kau tidak tepat untuk masuk dalam percaturan surat kabar.”
Teguran ini dikatakan seorang editor yang marah karena menemukan beberapa kata yang salah tulis dalam naskah seorang reporter. Reporter itu memegang teguh teguran itu dan, sejak saat itu, memakai kamus secara serius.

Ejaan bukan hanya latihan akademis untuk menakut-nakuti mahasiswa. Ejaan adalah satu keharusan bagi kelangsungan hidup dunia pers yang penuh persaingan.
Tak banyak reporter yang bisa gampang ingat ejaan, memang. Tapi kebanyakan kita tentunya bisa membaca kamus. Dan sekadar membalik-balik kamus tentulah bisa dilakukan, bahkan ketika diuber deadline.

Beribu-ribu kata diproses setiap hari di meja editor. Memang, editor bertanggung jawab untuk menyaring kesalahan pada naskah-naskah. Tapi, secara manusiawi, tidaklah mungkin ia bisa menyaring setiap kata. Karena itu seorang editor, mau tak mau, dituntut untuk selalu awas ketika memeriksa naskah. Ia harus selalu curiga bahwa naskah yang ia baca itu mengandung salah eja.

Bila salah ejaan sudah tercetak, banyak hal bisa terjadi — dan tidak satu pun yang baik. Kepercayaan orang pada media itu rontok. Salah cetak mengurangi citra media tersebut sebagai sesuatu yang profesional, dan membuat isinya selalu dicurigai para pembaca cerdik pandai. Bila koran ceroboh terhadap kata-kata, bagaimana fakta-fakta di dalamnya bisa dipercaya?

Kepercayaan orang pada reporter bersangkutan juga luluh. Bila seorang reporter terlalu sering melakukan kesalahan ejaan, bisa jadi ia memang tak cakap, tak cocok menjadi reporter, dan seorang editor bisa memindahkannya ke bagian lain, atau mendepaknya.

Kesalahan pemakaian kata bisa berakibat serupa. Banyak orang salah memilih kata-kata dalam percakapan sehari-hari karena mereka memungut suatu kata tanpa mengetahui persis artinya. Kesalahan dalam percakapan bisa dimaafkan dan dimaklumi, tapi segala maaf habis bila seorang reporter salah menerapkan kata dalam medianya.
Editor yang menginginkan standar profesional yang tinggi mungkin akan terlalu njlimet pada hal-hal sampai sekecil-kecilnya.

Kata-kata yang dipakai secara salah bisa mengubah arti suatu cerita. Dalam sebuah tulisan yang membahas soal utang dan piutang perusahaan, misalnya, penutupnya berbunyi demikian: “Seorang direktur perusahaan tekstil mengatakan, di akhir tahun anggaran nanti perusahaannya akan memiliki piutang yang jauh lebih besar daripada utangnya. Itu dikarenakan tiadanya kontrol penagihan.”

Andai saja antara kata “piutang” dan “utang” tertukar tempatnya, bisa saja sejumlah pemegang saham perusahaan tekstil itu akan buru-buru menjual sahamnya karena perusahaan itu rugi –padahal yang terjadi sebaliknya, meski keuntungan itu masih berupa piutang. Jelas, perbedaan antara kedua kata itu berpengaruh besar pada sikap para pemegang saham.

Akibat kesalahan pemilihan kata, bisa fatal. Nama baik surat kabar merosot. Nama baik reporter sendiri juga rusak. Dalam rapat pemegang saham perusahaan tekstil tersebut, baik direksi maupun pemegang saham tak lagi punya respek besar kepada wartawan itu. Akibatnya, wartawan ini kehilangan sumber informasi.

PEMAKAIAN BUKU PEDOMAN

Untuk mempertahankan citra keprofesionalan, surat kabar memerlukan buku pedoman penulisan. Baik reporter, penulis, dan redaktur seharusnya menaati aturan yang tertulis dalam buku pedoman itu. Buku semacam ini menggolong-golongkan bagaimana kata, gelar, dan tanggal harus dipakai untuk mendapatkan keseragaman.
Ada beberapa alasan mengapa buku pedoman ini perlu:

1. Pemakaian yang seragam kelihatan lebih profesional.
2. Bila sebuah kata ditulis dalam berbagai bentuk, meskipun semuanya benar, terbuka peluang pembaca akan mengambil kesimpulan salah: bahwa hanya satu kata yang benar. Misalnya kata persen, prosen, atau %.
3. Keseragaman menghemat waktu. Seorang wartawan yang mempelajari buku pedoman tidak perlu ragu-ragu memilih istilah yang harus dipakainya. Bila ia sedang diuber deadline, keraguan bisa berakibat mahal.

Manfaat buku pedoman, seperti juga kamus: untuk mengurangi kesalahan, mengurangi hal yang akan mengurangi citra keprofesionalan Anda.

MENANGKAP KESALAHAN

Untuk menangkap kesalahan, baik ejaan, gaya, maupun pemakaian kata, memang hanya ada satu cara. Yakni, membaca dan membaca naskah itu. Mereka yang dikaruniai kepandaian mungkin hanya sekali baca sudah bisa melihat kesalahan. Tapi wartawan lain memerlukan membaca dan membuka kamus berkali-kali untuk mengecek pekerjaannya.
Berikut ini salah satu cara mencari kesalahan dalam naskah Anda, tanpa banyak merugikan kelancaran menulis.
Jangan mengecek ejaan atau pemakaian kata pada saat menulis cerita. Berkali-kali membuka kamus atau buku pedoman di tengah Anda menulis akan menghambat kelancaran kreativitas dan itu memakan waktu.

Tapi, segera setelah cerita selesai, perhatikan naskah Anda kata demi kata. Pelototilah setiap kata seolah-olah “musuh” Anda yang akan menyabot cerita Anda. Kalau ada kemungkinan salah, walau sekecil apa pun, ceklah kata itu sampai Anda yakin bahwa itu sudah benar, atau Anda harus menggantinya.
Bila waktu memungkinkan, lakukanlah pengecekan ulang sekali lagi. Sering mata Anda terlena pada satu baris atau paragraf, ketika Anda mengecek cerita Anda. Pengecekan ulang akan mengurangi kesalahan.

Untuk beberapa jenis feature mungkin Anda perlu bekerja beberapa hari, kemudian mengendapkan cerita itu barang sehari atau dua setelah pengecekan sistematis. Kemudian sebelum menyerahkan cerita itu, saringlah lagi kesalahan yang mungkin ada. Dengan pandangan yang segar, kesalahan sering tampak lebih nyala.
Bila Anda menemukan kata yang salah eja atau salah pakai, tulislah. Beberapa reporter menyimpan daftar kata yang membingungkannya, agar ia selalu bisa mengecek mana yang salah dan mana yang benar dengan cepat. Belajar mengeja kata-kata itu akan sangat membantu.
Dan bila didesak oleh deadline, sementara itu Anda ragu arti sebuah kata yang hendak Anda gunakan, pakai saja sinonim atau padanannya.

MENGAIL, DENGAN “LEAD”

KUNCI untuk penulisan feature yang baik terletak pada paragraf pertama, yaitu lead. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan.
Setiap wartawan selalu sadar akan perlunya lead.Keranjang sampah penuh dengan lead tak bermutu, karena wartawan memakai lead yang itu-itu juga dalam usahanya menarik minat pembaca.
Lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama.

1. Menarik pembaca untuk mengikuti cerita.
2. Membuat jalan supaya alur cerita lancar.

Banyak pilihan lead; sebagian untuk menyentak pembaca, sebagian untuk menggelitik rasa ingin tahu pembaca, dan yang lain untuk mengaduk imajinasi pembaca. Dan masih ada yang lain, yaitu lead untuk memberi tahu pembaca tentang cerita yang bersangkutan secara ringkas.
Wartawan jarang menyadari, termasuk lead yang bagaimana yang dipakainya. Untuk memudahkan memilih lead, tampaknya perlu diketahui berbagai lead, seperti di bawah ini.

Lead ringkasan

Lead ini sama dengan yang dipakai dalam penulisan “berita keras”. Yang ditulis hanya inti ceritanya, dan kemudian terserah pembaca apakah masih cukup berminat untuk mengikuti kelanjutannya.
Lead ringkasan ini sering dipakai bila reporter mempunyai persoalan yang kuat dan menarik, yang akan laku dengan sendirinya. Karena lead ini sangat gampang ditulis, banyak reporter yang langsung memilihnya bila diuber deadline, atau bila ia bingung untuk mencari lead yang lebih baik.

Beberapa contoh lead ringkasan:
Ini satu lagi kasus peninggalan bekas Gubernur DKI Jaya Wiyogo Atmodarminto: Pasar Regional Jatinegara (TEMPO, 30 Januari 1993, “Komisi di Jatinegara”).
Ada orang ketiga di rumah tangga, kalau bukan bikin sewot istri, ya, bikin melotot 
suami
 (TEMPO, 1 Januari 1994, “Two in One Versi Tuban”).

Dari setiap contoh jelas bahwa yang akan diceritakan dalam cerita itu sudah tertulis dalam lead. Pembaca tahu, setelah membaca lead. Kata “kasus” dalam contoh pertama menunjukkan bahwa cerita yang akan disampaikan adalah tentang ketidakberesan di Pasar Regional Jatinegara yang dibangun di zaman Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Sedangkan dalam lead yang kedua, sudah bisa dibaca bahwa yang akan diceritakan adalah tentang hadirnya orang ketiga yang menimbulkan keributan di sebuah rumah tangga.
Kedua cerita itu umumnya dianggap cukup kuat menarik minat pembaca. Yang pertama, masalah ketidakberesan sebuah proyek tempat masyarakat bertemu. Yang kedua, masalah yang bisa menimpa hampir tiap rumah tangga: kehadiran orang ketiga.

Lead yang bercerita.

Lead ini, yang digemari penulis fiksi (novel atau cerita pendek), menarik pembaca dan membenamkannya. Tekniknya adalah menciptakan satu suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama, entah dengan cara membuat kekosongan yang kemudian secara mental akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca mengidentifikasikan diri di tengahÿ2Dtengah kejadian yang berlangsung.
Hasilnya, berupa teknik seperti yang dibuat dalam film yang baik. Apakah Anda pernah merasa haus ketika menyaksikan seorang pahlawan (film) kehausan di tengah padang pasir? Apakah Anda gemetar di tempat duduk Anda menyaksikan film horor?

Lead semacam ini sangat efektif untuk cerita petualangan. Misalkan seorang wartawan yang melaporkan suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina yang lagi dilanda perang saudara.
Kami makan anggur kematian, dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Serbia. Ini senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur itu. (TEMPO, 27 Maret 1993, “Potret Berdarah dari Dalam”).

Wartawan rubrik kriminalitas sering memakai lead bercerita dalam cerita feature untuk melaporkan peristiwa peristiwa kejahatan.
Hari itu, ada lima mayat yang hangus terpanggang. Sesosok mayat laki-laki dewasa dan tiga anaknya berserakan di sana-sini dengan tubuh rusak bekas dibantai. Pemandangan itu ditemukan penduduk di puing sebuah gubuk yang hangus terbakar (TEMPO, 25 Januari 1992, “Tragedi di Kebun Karet”).

Feature lain bisa begini:
Toha gelagapan. Ia seperti menghirup ruang hampa. Sebisanya ia mengisap corong udara di hidungnya. Tapi sia-sia. Tabung oksigen di punggungnya ternyata sudah kosong. Ia panik. Permukaan laut masih puluhan depa di atasnya(TEMPO, 16 November 1993, “Suka Duka Sang Penyelam”).

Lead ini mempunyai keuntungan karena bisa menggaet lebih efektif pembaca daripada lead lain. Begitu pembaca mengidentifikasikan diri dengan – atau menjadi tokoh ceritanya, ia pasti sudah tergaet.
Tetapi ada kerugiannya: tak semua cerita yang bisa cocok diberi lead seperti itu. Reporter yang mencoba memaksakan lead macam ini akan menghasilkan lead yang tidak wajar, atau lead itu akan merusakkan cerita.

bersambung …

 

Standar
Uncategorized

Teknik Menulis Fitur ala Majalah Tempo

(Pengantar: Artikel panjang ini ditulis oleh Redaktur Majalah Berita Mingguan Tempo. Saya tidak ingat persis, bagaimana file tulisan ini bisa ada di koleksi saya. Tetapi mungkin ini berasal dari ketika saya bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah D&R, sekitar tahun 1998-1999. Waktu itu banyak wartawan eks-Tempo pasca pembreidelan 1994 yang bekerja di sana. Artikel Teknik Penulisan Feature ini saya muat di blog sebagai bahan belajar, dan sumbangsih buat dunia jurnalisme Indonesia. Karena tulisannya panjang, akan dibagi dalam beberapa bagian. Semoga para jurnalis senior Tempo yang menyusun tulisan ini juga mendapat pahala, karena berbagi ilmu penulisan. Amiiinnn…. Satrio Arismunandar)

****

Dalam menulis berita di surat kabar yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan di majalah berita, bentuk penulisan cenderung bergaya feature: “mengisahkan sebuah cerita”.
Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata; ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.

Bila seorang wartawan balai kota menggambarkan wali kota dengan sepatunya yang gemerlapan dan kumisnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur kota akan marah karena tulisan itu bertele-tele. Tapi, sebaliknya, bila reporter itu melupakan gambaran sang wali kota pada saat ia menulis feature, redaktur kota mungkin akan berkata, “Orangnya seperti apa? Saya tidak bisa membayangkannya.”

Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.

“Piramida terbalik” (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah — hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik. Feature yang singkat dan lucu, yang biasanya ditemukan di surat kabar di halaman pertama, sering ditulis sesuai dengan urutan waktu.

Contohnya:
Brury, seorang petugas patroli, punya pengalaman paling sial Jumat malam yang lalu.
Pukul 4.30 sore ia lapor ke kantor. Lima menit kemudian, selama berpatroli dengan pakaian seragam, lampu senternya jatuh. Ketika membungkuk untuk memungutnya kembali, celananya sobek di bagian pantat.
Pukul 5.15 sore, ia mecoba menolong seekor anjing yang menggonggong. Sejam kemudian ia dirawat karena kakinya digigit anjing.
Segera setelah pukul 7.00 malam ia kesenggol mobil ngebut. Pengemudinya seorang detektif narkotik yang sedang menguber padagang heroin.
Pukul 9.50 ia dipanggil ke sebuah bar untuk melerai pertengkaran. Setengah jam kemudian, ia dirawat karena luka-luka di kepalanya akibat pukulan botol wiski. Perawatan dilakukan di pusat kesehatan masyarakat setempat.
Brury kembali ke rumah sakit itu lagi pukul 11.40 malam setelah menguber tersangka perampokan. Kaki kanannya terkena kaca ketika ia jatuh.
Setelah meninggalkan rumah sakit, ia kembali ke kantor polisi pukul 12.05 dini hari untuk mengakhiri tugasnya. Tapi waktu itu seorang pengendara motor menabrak dari belakang mobil dinas Brury di lampu lalu lintas. Sekali ini, ia tidak terluka.
Akhirnya pukul 12.30 Brury pulang, Ketika ia sampai di tempat parkir, ia menerima satu laporan polisi lagi. Dicuri: sebuah sepeda motor Honda, STNK nomor B 1995 GK. Pemiliknya: Brury, umur 31 tahun, tinggal di Gang Kenari 27.

Reporter yang menulis cerita Brury sebagai feature, dan tidak menuliskannya sebagai berita, memperoleh hasil yang baik dari bahan yang tersedia. Feature itu pantas dimuat di halaman pertama, sedangkan sebagai berita sedikit sekali nilainya. Bila dibuat berita, bentuknya seperti ini:

Brury, seorang petugas patroli, dirawat karena luka-luka kecil (ringan) pada tiga insiden terpisah Jumat malam. Polisi itu juga mengalami kecelakaan mobil ringan.
Brury, 31 tahun, digigit anjing pukul 5.15 sore, kepalanya terkena botol wiski di bar pada pukul 09.50 malam; dan kakinya luka karena pecahan kaca ketika ia jatuh dalam suatu pengejaran pukul 11.27. Ia dirawat dan kemudian dibolehkan pulang dari pusat kesehatan masyarakat setempat setelah kecelakaan itu.
Suleman, 38 tahun, penghuni Jalan Kebyar nomor 19, ditangkap dan dituduh menyerang polisi pada satu pertengkaran di bar.
Mobil dinas Brury sedikit rusak ketika ditabrak dari belakang oleh mobil yang dikemudikan Ny. Amenah di persimpangan Kuningan pukul 12.05 hari ini. Tidak ada seorang pun yang luka.

Perhatikan bahwa berita lebih banyak menyampaikan informasi mengenai kecelakaan dalam cerita itu, dan tidak menyebut-nyebut materi yang tidak punya nilai berita — tapi penting ~– seperti celana sobek. Reporter berita bisa dengan mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan cerita tentang pencurian motor, karena itu terpisah dan tidak langsung berhubungan dengan cerita tentang luka atau hampir luka yang dialami seorang polisi. Cerita mana yang lebih menarik? Cerita mana yang lebih informatif? Cerita yang mana yang lebih enak ditulis?

AKURAT, BUNG!

PENULIS feature tentu membutuhkan imajinasi yang baik untuk menjahit kata-kata dan rangkaian kata menjadi cerita yang menarik. Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, imajinasi penulis tidak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya.
Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature.
Seorang wartawan profesional tidak akan menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang bakal mengancam.

Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada, kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi (misalnya cerita pendek).
Feature tidak boleh berupa fiksi, dan setiap “pewarnaan” fakta-fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan orang pada kita akan hancur.

Ada beberapa derajat “kefiktifan”. Yang paling mencolok ialah bila seorang membuat cerita dengan bahan yang sama sekali bikin-bikinan. Tapi tak banyak reporter yang segila itu.
Godaan yang paling sering terjadi, ketika penulis hampir menyelesaikan tulisan yang baik tapi ada beberapa unsur yang tertinggal. Ia mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh laporannya untuk bikin ramai cerita. Tokoh yang diwawancarai dengan demikian bersekongkol dalam menjual cerita yang condong palsu.

Satu teknik lagi yaitu dengan menaruh satu kalimat (untuk jadi kutipan) ke mulut orang yang diwawancarai. Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah diarahkan dengan bertanya, “Apakah Anda….” dan menunggu anggukan tanda setuju — entah sungguhan atau khayalan.
Wartawan-wartawan yang tidak etis seperti itu memang terdapat di dunia pers, dan seperti lazimnya pembohong, mereka hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar.
Untuk kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya adalah taruhan bagi suksesnya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan segera kehabisan sumber berita yang bisa memberi informasi kepadanya.

MENGUMPULKAN INFORMASI DENGAN TEPAT

Ketidakakuratan (kesalahan) dalam penerbitan kebanyakan disebabkan oleh kelalaian (kesembronoan) yang tidak disengaja. Seorang reporter mungkin tidak menggunakan waktu secukupnya untuk mengecek informasinya sebelum menulis. Kemudian ternyata ia salah menulis nama sumber berita.
Seorang wartawan kawakan akan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kesalahan fakta:

1. Bila Anda mewawancarai seseorang, tanyakan namanya, umurnya, alamatnya, dan nomor teleponnya. Setelah mengumpulkan informasi, ejalah namanya dan bacakanlah alamat dan nomor teleponnya sehingga sumber berita bisa mengoreksinya. Nomor telepon tidak ditulis dalam cerita, tapi reporter harus mempunyainya untuk mengadakan kontak dengan sumber berita itu.
2. Bila nama, umur, dan alamat Anda dapat dari tangan kedua, harap dicek pada buku telepon. Bila Anda menyebut umurnya, tanyakan pada sumber berita untuk membetulkannya.
3. Jangan sekali-kali beranggapan bahwa Anda mengetahui semuanya. Anda selalu harus mengecek ulang setiap informasi yang penting. Misalnya, seorang reporter balai kota mungkin mengira bahwa ia tahu gelar atau jabatan resmi seorang pejabat. Tapi bila ia tidak yakin, ia harus menghubungi pejabat itu atau sekretarisnya untuk mencocokkannya.
4. Bila tulisan Anda menyangkut materi yang rumit, pastikanlah dulu bahwa Anda mengetahui hal itu. Seorang reporter sering menulis tentang suatu istilah teknis sedangkan ia tidak tahu atau tidak punya latar belakang sama sekali tentang hal itu.

Mungkin seorang wartawan polisi membuat feature mengenai perlengkapan radar yang dipasang pada lampu lalu-lintas. Seorang kapten polisi mungkin dengan lancar menerangkan istilah teknis tentang radar, tapi reporter itu harus bisa memberi informasi yang gamblang kepada pembacanya. Maka, seorang wartawan berpengalaman akan sering menghentikan penjelasan kapten itu untuk mencarikan terjemahan istilah-istilah teknis tersebut yang mudah diterima awam.
Umumnya wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan, dan mengajukan pertanyaan sesuai dengan posisi itu.

5. Bila menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus mengecek angka-angkanya dan menghitung. Banyak wartawan yang berdalih macam-macam bila seorang pembaca yang kritis mengirim surat ke redaksi dan menunjukkan perhitungan yang keliru dalam tulisan wartawan itu.

Statistik harus dicermati benar, dengan penuh kecurigaan. Anda bisa membuktikan apa saja dengan statistik, tergantung bagaimana cara Anda menyajikannya dan apa saja yang Anda masukkan atau tinggalkan. Tanyakanlah kepada sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran angka-angka itu.
Misalnya, statistik kejahatan yang dikemukakan polisi harus dicek benar-benar sebelum dipakai sebagai petunjuk tingkat kejahatan. Sebab, pada kenyataannya, banyak peristiwa kejahatan yang tidak dilaporkan kepada polisi, dan karena itu tidak tercatat dalam statistik.
Seorang reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu masyarakat. Kekritisan dan pengecekan yang teliti sering bisa menghindarkan hal itu terjadi.

bersambung…

Standar

lomba lari

Ada hal yang saya ingini sejak kecil, yaitu menggambar. Setamat SMA saya memutuskan untuk memilih jurusan seni rupa di UNS, namun orang tua tidak begitu menyetujui. Ketika tes kedua saya tidak bisa ikut karena posisi saya di Lampung sementara saya tidak punya ongkos buat ke Solo. Sampai sekarang keinginan itu masih tesimpan kuat di hati. Di sela kesibukan sehari-hari saya saat ini, menggambar menjadi salah satu pilihan untuk melepas lelah. Salah satu hasil gambaran yang saya cobakan dengan Corel Draw adalah gambar lomba lari di atas. Selebihnya, gambar bunga dengan crayon masih terpasang di rumah kontrakan saya. Coret-coretan sketsa minimalis bertebaran di buku catatan. Ada saat-saat saya merindukan aroma krayon, pegalnya tangan karena memegang mouse (belum kuat beli mouse pen), dan sibuknya mencampur cat dengan minyak.

 

Uncategorized

lomba lari

Gambar