Uncategorized

Membahagiakan orang tua

Pagi ini, sambil sarapan saya disuguhi cerita khas ibu-ibu. Ceritanya biasa saja sebenarnya, sumbernya pun hanya obrolan ibu-ibu sambil momong dan menyuapi si kecil.  Kebenarannya pun masih belum ditabayunkan. Tapi setidaknya ini menjadi pelajaran buat saya dan keluarga.

“Kemarin ibunya Bunga cerita,” kata istri saya membuka obrolan pagi tadi. “Dulu sebelum mbah Bejo meninggal, anaknya tak begitu peduli padanya. meskipun hidup bersama anaknya tapi mbah putrilah yang mengurus kehidupannya.” Istri saya bercerita sambil menyomot telur goreng campur daun melinjo. “Pernah suatu ketika mbah Bejo ingin makan bakso, tapi sang anak menjawab permintaan ayahnya itu dengan mengatakan, ‘Ra ndue duit (gak punya uang_red)’,” cerita istri saya yang katanya sanadnya sampai si mbah putri sendiri. “Kali lain, si anak membeli ayam 1 kg tapi mbah bejo hanya dikasih sayapnya, satu pula. akhirnya mbah putri membelikan sendri untuk mbah bejo.” Istri saya terus bercerita sambil memasukkan sesuap demi sesuap nasi ke mulutnya.

Perbincangan kami beberapa hari ini memang tak lepas dari mbah bejo yang meninggal beberapa hari lalu. Mulai dari obrolan ketika takziah, kiriman makanan ke keluarga kami dari ahli warisnya, kotak infak yang dikelilingi taburan bunga, sampai cerita pagi ini. Sebenarnya mbah bejo bukan tokoh masyarakat yang kehidupannya perlu dibuatkan buku biografi untuk dikenang. Ia hanya tetangga biasa yang sehari-hari bekerja menggembala kambing. tapi bagaimanapun, di lingkup sebuah kampung, berita tentang seseorang bisa mudah sekali tersebar.

Semua itu sebenarnya hanya karena setiap malam, setelah kematiannya, kami mendengar suara orang “yasinan”. Setiap malam, anak-anaknya mengumpulkan beberapa orang untuk berdoa. suatu kali saya memang pernah melempar statemen kepada istri saya, “mungkin anak-anaknya tidak  PD mendoakan bapaknya sehingga harus meminta orang untuk mendoakannya.”

Cerita pagi ini masih berhubungan dengan statemen saya itu sebeneranya. di akhir kisah, istri saya mengambil kesimpulan yang cukup menarik, “Berapa ya pengeluaran permalam untuk orang-orang yang mendoakan ayahnya setelah meninggal. mahal mana dengan semangkuk bakso yang diinginkan sang ayah ketika masih hidup.”

Kesimpulan inilah yang membuat saya ingin menuliskannya di sini. Berbagi dengan rekan-rekan, betapa sering kita meremehkan bakti kepada orang tua ketika mereka masih hidup. Padahal hal itu diwajibkan. Sementara setelah sang ayah meninggal anak rela mengeluarkan berapa pun biaya untuk membahagiakan ayahnya, meskipun dengan perbuatan yang tidak disyariatkan.

Di hari kematian mbah Bejo, di status FB saya sempat menulis, “Anak soleh bukanlah yang paling banyak menabur bunga atau meletakkan kendi di atas pusara ayahnya. Atau ia yang mengadakan acara dihari-hari tertentu setelah kematian orang tuanya. Anak sholeh adalah yang tak lelah berdoa untuk ayahnya tak berbatas waktu.

Standar

7 respons untuk ‘Membahagiakan orang tua

Tinggalkan Balasan ke aresgaulabes@yahoo.co.id Batalkan balasan